Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah?

Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah?

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari @abahihsan
Direktur Auladi Parenting School
Penggagas Program 1821 Kumpul Keluarga

Apakah boleh mengajak anak ke masjid meski mereka belum wajib sholat ? Apakah harus didampingi orangtua? Bagaimana pula jika anak ribut di masjid? Bolehkah anak-anak bermain di masjid?

Bagaimana jika ada orang dewasa yang tidak membawa anak lalu tengah khusyu ibadah merasa terganggu dengan anak yang ribut di masjid? Apakah orang dewasa yang harus bersabar dan menyesuaikan diri atau anak yang dikondisikan untuk tidak ribut? Haruskah dibiarkan atau sebaiknya diusir dari masjid?

(Peringatan: tulisan ini panjang, agar difahami secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Membaca sebagian tulisan ini, akan berakibat tidak baik untuk pencernaan pikiran Anda.)

Tak sedikit anak trauma karena ditegur, dibentak atau diusir dari masjid saat anak ribut di masjid sehingga akhirnya masjid itu dicap sebagai masjid tidak ramah anak. Apatah lagi bulan Ramadhan, yang kerap kali menjadi momen “pembantaian” terhadap anak-anak. Tapi Apakah masjid ramah anak itu berarti memperbolehkan anak ribut dan bermain-main di masjid saat ada orang dewasa beribadah sholat sehingga akhirnya menjadi tidak ramah ibadah orang dewasa?

Secara syariat, tak ada satu pun penghalang untuk mengajak anak kecil ke masjid. Berbagai dalil syara sudah sangat banyak untuk membuktikkan kebolehan ini. Ini bukan perkataan saya, ini perkataan sebagian besar ulama. Saya hanya akan mengutip beberapa diantaranya. Jika ada diantara yang punya kitab kumpulan hadits shahih, Anda boleh periksa kesahihan hadits ini.

Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu mengatakan: Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– muncul ke arah kami sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rosulullah shallallahu alaihi wasallam-, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih)-, beliau menggendongnya di atas pundak, kemudian Rosulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengerjakan sholat, sedang Umamah masih di atas pundak beliau, apabila ruku’ beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri beliau menggendongnya kembali, beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai sholatnya. (HR Abu Dawud no.783, HR Nasa’I 704 dalam shahih Al-Albany)

Syaddad radhiallahu ‘anhu mengatakan: Suatu ketika Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam pernah datang kepada kami dalam salah satu sholat fardhu malamnya (maghrib atau isya’), sambil menggendong Hasan atau Husein, lalu Rosulullah -shallallahu alaihi wasallam- maju ke depan (untuk mengimami), beliau pun menurunkannya (Hasan atau Husein), lalu bertakbir untuk memulai sholatnya, di tengah-tengah sholatnya beliau sujud dengan sujud yang panjang. Syaddad mengatakan: maka aku pun mengangkat kepalaku, dan ternyata ada anak kecil (Hasan atau Husein) di atas punggung Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– yang sedang sujud, lalu aku kembali sujud.

Setelah Rosulullah menyelesaikan sholatnya, para sahabatnya bertanya: Wahai Rosulullah, sungguh engkau telah bersujud dengan sujud yang panjang di tengah-tengah sholatmu, sehingga kami mengira terjadi sesuatu, atau ada wahyu yang turun kepadamu?

Beliau menjawab: Bukan karena itu semua, akan tetapi cucuku (Hasan atau Husein) menunggangiku, dan aku tidak ingin segera menyudahinya sampai ia puas dengan keinginannya. (HR. An-Nasai no.1129 dan Al Hakim no.4579

Memang ada beberapa ketarangan yang juga melarang anak ke masjid, tetapi dalil yang lebih kuat adalah yang membolehkan.

Imam At-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Ra, Rasulullah Saw Bersabda, “Jauhkan masjid-masjid kalian dari anak kecil, permusuhan, (melaksanakan) hukuman, dan jual beli! Berkumpullah di sana pada hari kalian berkumpul! Serta jadikanlah pintu-pintunya sebagai tempat yang suci!” Namun yang meriwayatkan hadits ini dari Mu’adz adalah Makhul. Dia tidak pernah mendengar langsung dari Mu’adz.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Waatsilah bin Al-Asqa’ bahwa Nabi Saw bersabda, “Jauhkan masjid kalian dari anak kecil, orang gila, jual beli, permusuhan, mengeraskan suara, melaksanakan hukuman, dan menghunuskan pedang! Jadikanlah pintu-pintunya sebagai tempat yang suci, serta berkumpullah di sana pada hari kalian berkumpul!” Namun dalam sanadnya ada Al-Harits bin Syihab yang dianggap dha’if.

Kedua hadits ini bertentangan dengan hadits Umamah yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim di di atas, juga dengan hadits riwayat Anas Ra, Rasulullah Saw bersabda, “Aku mendengar tangisan anak kecil ketika sedang dalam shalat, lalu aku percepat karena khawatir ibunya merasa berat.” Hadits ini juga disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Ada juga alasan orang yang melarang anak ke masjid soal kemungkinan anak yang terkenan “najis”. Bantahan Imam Nawawi kepada mereka yang melarang membawa anak ke masjid dengan alasan adanya kemungkinan najis pada badan anak kecil: “Tubuh anak adam itu suci, adapun yang ada di dalam jasadnya, maka najisnya tidaklah dianggap. Sedangkan pakaian dan badan anak kecil itu dianggap suci hingga benar-benar diyakini ada najisnya… dan gerakan di dalam sholat, tidak membatalkannya apabila masih tergolong sedikit atau terpisah-pisah… dan dalil-dalil syariat dalam masalah ini sangatlah banyak… Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut itu untuk menerangkan (kepada umatnya) bolehnya (melakukan hal tersebut).”

Jadi sudah jelas, mengajak anak ke masjid tidaklah dilarang. Bagaimana jika anak di masjid ribut, bermain dan orang dewasa yang tengah khusyu sholat merasa terganggu? –bersambung-

Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah?
(bagian 2)

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | Penggagas Program 1821 Kumpul Keluarga
http://www.auladi.net

Jelas, mengajak anak ke masjid tidaklah dilarang. Bagaimana jika anak di masjid ribut, bermain dan orang dewasa yang tengah khusyu sholat merasa terganggu? Masalahnya, dalil-dalil yang membolehkan mengajak anak ke masjid yang sudah dibahas sebelumnya, seringkali jadi pembenaran sebagian orangtua membiarkan anak-anak mereka ribut dan bermain-main saat ada orang dewasa tengah melaksanakan ibadah.

Ternyata, berdasarkan pendapat para ulama, kebolehan mengajak anak ke masjid harus dengan “SYARAT DAN KETENTUAN”. Anak diperbolehkan diajak ke masjid atau diperbolehkan pergi ke masjid asalkan tidak menganggu kekhusyuan ibadah orang dewasa. Tentu saja anak tidak bermaksud menganggu, tapi fakta bahwa orang dewasa jadi terganggu saat ibadah sholat ketika anak-anak bermain dan ribut di masjid itu banyak terjadi.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Sebagian orang ada yang membawa anak mereka yang belum mencapai umur tamyiz ke masjid ketika hendak shalat. Anak-anak tersebut biasa tidak berperilaku baik ketika shalat, mereka berebutan shaf, mereka biasa bercanda satu dan lainnya sehingga menggelisahkan jamaah yang lain. Apa nasehat engkau terhadap orang yang bertanggung pada anak-anak tersebut?”

Jawaban beliau rahimahullah, Aku berpendapat bahwa membawa anak yang sering mengganggu jama’ah lainnya TIDAKLAH DIPERBOLEHKAH. Karena perbuatan semacam ini mengganggu jamaah lainnya yang sedang menunaikan ibadah yang wajib.

Dari Abu Sa’id (Al Khudri), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar sebagian orang mengeraskan suara ketika membaca Al Qur’an. Lalu beliau membuka hijab (tempat beliau i’tikaf). Lantas beliau bersabda, “Janganlah kalian menyakiti dan janganlah kalian saling mengeraskan bacaan satu sama lain ketika membaca Al Qur’an.” Ada yang mengatakan, “Dalam hal bacaan ketika shalat.” (HR. Abu Daud no. 1332 dan Ahmad 3: 94, shahih kata Syaikh Al Albani)

Bahkan menurut Al-Albani, jika ada diantara mereka yang bermain dan berlari-lari di masjid, maka wajib bagi bapaknya atau walinya untuk mengambil tindakan (menghukumnya) dan mendidiknya. Atau wajib bagi petugas dan pelayan masjid untuk mengusir mereka. (Tsamarul Mustathob 1/761).

Masalah selanjutnya adalah, terkadang pula dengan alasan “gangguan” ini pula, tak sedikit anak yang “trauma” ke masjid karena dibentak-bentak orang dewasa saat ribut di masjid, sebagian anak ini juga diusir dari masjid, bahkan ada masjid yang terang-terangan menempel pengumuman di masjid yang menuliskan “anak kecil tidak diperbolehkan masuk ke masjid”.

Saya setuju, cara-cara untuk menghindarkan gangguan keributan anak saat orang dewasa beribadah tidak boleh dengan cara-cara yang membuat anak justru tidak mencintai masjid atau yang lebih parah trauma ke masjid. Saya setuju masjid harus ramah anak. Jika pun “diusir” maka yang dimaksud adalah menghentikkan keributan itu dengan cara-cara ahsan, tidak membentak, tidak meneriaki anak dan tidak “ujug-ujug” meminta anak minggat, tapi mendampingi anak, memindahkan anak ke area lain yang tidak menganggu orang sholat, mengalihkan anak untuk melakukan aktivitas lain tanpa menganggu orang sholat dengan pendampingan orang dewasa. Saat melihat anak ribut di masjid, seusai sholat saya biasanya mengumpulkan mereka, tersenyum kepada mereka, berkenalan dengan mereka, mengusap kepala mereka dan lalu menasihati dengan pelan “hebat sudah pada rajin ke masjid! Keren.. namanya siapa? Orangtuanya dimana?”Dst… setelah ngobrol sebentar lalu saya katakan “mainnya boleh, tapi jika ada orang sholat mainnya pindah ya di luar”. Atau “jika mau main, boleh, nanti saat orang-orang sudah selesai sholat”.

Tapi saya pun setuju bahwa masjid ramah anak bukan berarti anak diperbolehkan menganggu kekhusyuan ibadah orang dewasa yang justru hukumnya wajib, sedangkan mengajak anak ke masjid terutama saat belum mumayyiz hukumnya “boleh”, bukan wajib. Maka jangan sampai yang boleh (mubah) itu justru mengalahkan yang wajib.

“Masjid ramah anak” tidak boleh akhirnya berubah apalagi diterjemahkan menjadi “masjid tidak ramah ibadah” untuk orang dewasa. Seharusnya kita semua berupaya menjadikan masjid-masjid kita menjadi “masjid ramah anak tapi juga ramah ibadah” untuk orang dewasa.

Bagaimana agar masjid dapat menjadi ramah anak tapi juga tidak menjadi berubah jadi tidak ramah ibadah? @Abahihsan –bersambung-

Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah?
(bagian 3)

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | Penggagas Program 1821 Kumpul Keluarga
http://www.auladi.net

Bagaimana agar masjid dapat menjadi ramah anak tapi juga tidak menjadi berubah jadi tidak ramah ibadah? Sebaiknya masjid juga punya SOP yang jelas soal penanganan anak. Bagaimana pun anak juga adalah asset ummat, yang harus dikelola. Ini beberapa usulan saya yang dapat dijadikan sop (standard operational procedure)

UNTUK PENGURUS MASJID:

PERTAMA, agar anak-anak hati dan suasana terikat ke masjid, masjid justru harus dijadikan sarana “kunjungan” keluarga yang menyenangkan. Alih-alih menjadikan bioskop atau mall jadi favorit, alangkah menyenangkannya jika kemudian masjid juga menjadi tempat favorit keluarga bercengkrama dan berkumpul. Jadi, menolak sama sekali keberadaan anak di masjid sebaiknya tidak dilakukan. Apalagi dengan menempel stiker atau kertas “anak kecil dilarang masuk”.

Sebaiknya anak-anak tetap diperbolehkan datang ke masjid BAHKAN DIPERBOLEHKAN BERMAIN DI ARENA MASJID baik di halaman maupun di dalam ruangan sholat, sepanjang: bukan jam sholat, bukan saat ada orang ibadah dan anak tidak dalam keadaan kotor.

Jika areanya cukup, masjid sebaiknya juga dilengkapi tempat khusus semacam “kids corner” yang dapat berupa ruang khusus di dalam atau di samping masjid, taman, playground untuk anak, atau ruangan khusus bacaan anak. Masjid jangan sampai dikalahkan oleh mall, hotel, bandara yang juga memiliki ruang khusus anak, agar menjadi ramah anak.

KEDUA, masjid umum yang biasa disinggahi banyak jamaah, kadang tidak bisa dihindari orangtua “terpaksa” membawa anak untuk singgah sholat, karena tak mungkin meninggalkan anak sendirian di dalam kendaraan. Maka sebagaimana motor atau kendaraan saja yang “benda mati” juga ada yang menjaga di parkiran masjid, mengapa tidak masjid pun memiliki petugas khusus untuk menjaga dan mengawasi anak yang jelas-jelas “makhluk hidup”. Petugas ini diberikan “sop” khusus bagaimana menangani anak jika misalnya anak ribut dan bermain-main saat ada oran dewasa khusyu beribadah sholat atau tengah dalam pengajian.

KETIGA, memberikan arahan, jika perlu bahkan memberikan syarat “bolehnya” menggunakan masjid, pada kepada kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah yang melaksanakan aktivitas pengajian agama, ta’lim, daurah, halaqah dan lain-lain di masjid untuk juga menyediakan “pendampingan” khusus pada anak saat orangtuanya. Pendampingan ini dapat berbentuk “kids corner” mandiri yang disediakan kelompok pengajian, piket jaga anak, bahkan kenapa tidak: “ta’lim khusus anak’. Saat orangtua ta’lim anak pun ta’lim.

Saya masih ingat sekali ketika mengisi pelatihan di Zuerich, Swiss selama 2 hari, beberapa tahun lalu. Panitia menyediakan ruangan khusus orang dewasa untuk belajar tapi juga ada ruang anak khusus beraktivitas. Anak didampingi oleh orang-orang “professional” melakukan berbagai macam variasi “children activities”. Hasilnya, anak-anak disibukkan dengan berbagai aktivitas dari pagi sampai menjelang maghrib tanpa ada keributan ke ruangan orangtua. Al hasil saat orangtua selesai belajar menjelag maghrib itu, anak-anak bertemu dengan orangtua dalam keadaan “happy”. Saya sendiri mendengar langsung celotehan anak saat sore bertemu orangtuanya “Mama, nanti mama ikut pelatihan lagi ya!”. Anak-anak senang karena mereka tidak diabaikan justru momen orangtua “mengaji” dimanfaatkan juga menjadi ajang “pembinaan” anak.

Demikian juga saat Ramadhan, mengapa tidak saat ceramah orang dewasa yang kerapkali tidak difahami anak materinya ceramahnya, apalagi dengan ceramah berpanjang-panjang yang membuat anak bosan dan jadi ribut, juga disediakan khusus ceramah khusus anak di ruangan yang berbeda. Beberapa masjid Alhamdulillah bahkan ada yang berinisiatif saat Ramadhan menyediakan sarana “Tarawih for Children.”

KEEMPAT, pengurus masjid yang masjidnya sering disinggahi anak-anak, memberikan standar baku pada imam yang memimpin sholat, sebelum memulai sholat berjamaah memantau keadaan jamaah dan meminta sebagian jamaah lainnya untuk tidak menempatkan anak di samping orangtuanya atau jika tidak ada orangtuanya, menempatkan anak di samping orang dewasa secara “selang-seling”, bukan dengan sesama anak-anaknya lainnya berdampingan. Saat sholat dan Ramadhan terutama, untuk beberapa masjid yang tidak faham

Ada beberapa masjid di beberapa daerah yang saya temui, justru menempatkan anak di bagian belakang bersama anak-anak. Justru dengan keadaan anak dikumpulkan bersatu dengan “komplotannya” inilah, memperbesar peluang anak-anak untuk “berseru-seru” ribut dan bermain saat orang dewasa melaksanakan sholat”.

Alasan yang dikemukan sebagian pengurus masjid menempatkan anak di belakang adalah keberadaan anak yang belum “akil baligh”.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata “aku menasehati para jama’ah masjid untuk memberikan keluasan pada anak-anak yang telah diperintahkan untuk ke masjid agar tidak membuat mereka merasa sempit. Biarkanlah mereka berada di shaf yang sudah mereka tempati lebih dahulu. Karena seseorang yang lebih dahulu mendapatkannya, maka dialah yang lebih berhak, terserah ia hanyalah bocah (anak-anak) atau orang yang telah dewasa.

Jika kita membiarkan mereka tetap di shaf yang mereka dapati lebih dahulu, keuntungannya adalah: Kita telah membiarkan mereka mendapatkan haknya. Karena sekali lagi, siapa saja yang telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu, maka dialah yang lebih berhak

Membiarkan anak di shaffnya, juga tidak membuat mereka jauh dari masjid (artinya: semangat ke masjid, karena diberi keluasan berada di shaf terdepan. Jika kita merampas tempat mereka di depan, maka anak-anak akan berkumpul dengan teman-teman lainnya sehingga mereka malah bermain-main dan membuat gelisah jama’ah yang lain, dan ini berbeda jika anak-anak tersebut bersama orang yang telah dewasa.

Adapun penjelasan sebagian ulama yang berpendapat bahwa sebaiknya anak-anak menempati shaf akhir karena berdalil dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hendaklah yang berturut-turut di belakangku di antara kalian adalah orang dewasa dan orang yang cerdas.”( HR. Muslim no. 432, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.)

Pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Dalam Sunan Al Baihaqi disebutkan,

“Barangsiapa yang mendahului mendapatkan sesuatu dari yang lain, maka dia lebih berhak mendapatkannya.” (HR. Al Baihaqi 6: 142)

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang berturut-turut di belakangku di antara kalian adalah orang dewasa dan orang yang cerdas”, yang dimaksud adalah dalam hal ketidak-sempurnaan. Karena makna hadits yaitu mendorong orang dewasa dan yang cerdas untuk berada lebih depan agar berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena mereka tentu saja lebih mengetahui hal fikih dibanding anak-anak dan tentu saja mereka lebih bisa memperhatikan kekeliruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bisa mendengar beliau. Yang bisa melakukan seperti itu adalah orang dewasa dan yang cerdas. Beda halnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah boleh berada di belakangku selain orang dewasa dan yang cerdas.” Jika disebut demikian, maknanya adalah anak kecil tidaklah boleh di shaf depan.

Namun hadits dari beliau berbeda dengan hal itu. Beliau cuma menganjurkan orang dewasa dan yang cerdas tadi untuk maju berada di belakang beliau ketika shalat (artinya, bukan jadi suatu keharusan).

Ada juga yang beralasan bahwa anak dapat memutuskan shaff karena itu di tempatkan di bagian belakang. Mereka berpegang pada hadits berikut:

Telah mengabarkan Abu Nadhir, telah mengabarkan kepadaku Abu Mu’awiyah yakni Syaiban dari Laits dari Syahr bin Hausyab dari Abi Malik al-Asy’ariy dari Rasulullah saw., “Adalah beliau saw., menjadikan laki-laki dewasa di depan anak-anak dan anak-anak dibelakang mereka, dan perempuan dibelakang anak-anak.” (HR. Ahmad V/344; Abu Daud I/181)

Menurut ulama ahli hadits, Syeikh Al-Albani setelah meneliti hadits ini, menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa anak-anak yang berada pada shaf orang dewasa dapat memutuskan shaf adalah tidak benar karena derajat hadits tersebut yang dlaif/lemah. Syeikh al-Albani juga berkata,”

“Dan dalam masalah shaf wanita di belakang shaf laki-laki ada hadits shahih yang menyatakan hal itu, adapun menjadikan anak-anak (khusus) dibelakang shaf laki-laki maka tidak ditemukan hadits yang serupa dengan hadits ini, dan hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah maka tidak mengapa menempatkan anak-anak bersama shaf orang dewasa jika shaf tersebut masih longgar dan (hadits) shalatnya dua anak yatim bersama Anas (bin Malik) dibelakang Nabi saw., adalah hujjah dalam permasalahan ini.” (Tamamul Minnah, 1/285)

Bagaimana pula SOP yang dapat diterapkan orangtua yang ingin mengajak anak mencintai masjid tanpa menganggu ibadah orang lain? @abahihsan –bersambung-

Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah?
(bagian 4)

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | Penggagas Program 1821 Kumpul Keluarga
http://www.auladi.net

Bagaimana pula SOP yang dapat diterapkan orangtua yang ingin mengajak anak mencintai masjid tanpa menganggu ibadah orang lain?

UNTUK ORANGTUA:

PERTAMA, rutinkan mengunjungi dan mengajak anak untuk menjadikan masjid sebagai salah satu tempat favorit untuk dikunjungi. Bukan hanya saat shalat. Saat sore dan hari libur. Tidak mengapa menjadikan masjid tempat bercengkrama, menjadikan halaman masjid sebagai salah satu tempat bermain dengan anak agar anak memiliki “memori” baik tentang masjid.

KEDUA, anak-anak di bawah 7 tahun, yang belum tenang dan masih butuh banyak bergerak terutama anak-anak di bawah 7 tahun hanya sesekali saja dibawa ke masjid untuk sekadar “berkenalan” dengan masjid. Sebab rentang pikiran mereka masih pendek, maka mereka tidak akan bisa berlama-lama “menunggu” orang dewasa sholat.

Karena itu boleh ke masjid tapi itu pun dengan pendampingan, tidak dirutinkan, apalagi jika memang kita faham anak kita termasuk anak yang aktif. Rasulullah memang pernah mengajak cucunya ke masjid, seperti dalil-dalil yang dikemukakan sebelumnya, tapi mengajak cucunya ke masjid itu sesekali atau setiap hari? Jika memang sering, bisa jadi hadits yang akan diterima kita sampai saat ini akan banyak periwayatannya.

KETIGA, anak usia 7 tahun sudah bisa diajak ke masjid bahwa “wajib” diajak ke masjid terutama anak laki-laki berdasarkan dalil: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat di saat mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika mereka enggan ketika mereka berusia 10 tahun.” (HR. Ahmad, 2: 187, dengan sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Bagaimana jika tidak ada ayahnya? Anak usia 7-10 tahun adalah tahap pembinaan dan disiplin soal sholat. Anda tetap diperbolehkan anak ke masjid tapi ibunya tetap sesekali harus memeriksa keadaan anak di masjid saat sholat. Jika anak sudah menetap cara sholatnya dengan benar, maka kita boleh memberikan kesempatan ke masjid meski tanpa ayahnya.

Tapi jika mendapati mereka ternyata masih “bermain-main” saat sholat anak sebaiknya “harus dibina” lebih dahulu di rumah oleh ibunya, jika tidak ada ayahnya karena ayah kerja atau di luar kota”. Dibina di sini dalam artian anak “ditahan” sementara “hak” untuk sholat di masjid, untuk beberapa hari sholat sembari terus dibina, difahamkan tentang bagaimana adab-adab di masjid terutama saat ada orang beribadah sholat. Saat proses penahanan ini, orangtua juga memanfaatkan kesempatan ini untuk melatih anak, memastikan bahwa anak benar-benar melakukan gerakan dan tata cara sholat lainnya dilakukan dengan benar.

KEEMPAT, saat anda melakukan kegiatan pengajian di masjid sebaiknya tidak membawa anak ke masjid. Bagaimana pun pengajian orang dewasa bukanlah pengajian anak. Ada banyak kegiatan orang dewasa yang bukan kepentingan anak, tapi anak dibuat “menunggui” kegiatan orang dewasa. Sesekali mengajak anak ke kegiatan pengajian agar anak dapat “chemistry” kegiatan majlis ilmu, boleh-boleh saja. Tapi sesekali lho ya. Itu pun dengan beberapa pengkondisian.

Mengapa tidak dianjurkan? Bayangkan Anda jadi anak. Anak harus bengong nunggu orangtua “ngaji” selama beberapa jam. Membawa anak berlama-lama mengikuti orang dewasa yang bukan kepentingan anak dapat memberikan peluang bagi anak untuk tidak nyaman dan akhirnya membuat anak bosan, rewel, ribut, bermain-main saat orang dewasa melakukannya kegiatannya. Akhirnya orangtua dan orang dewasa lainnya berpeluang “mendzalimi” anak tak sengaja ketika meminta anak yang tidak bisa tenang ini untuk diam.

Padahal anak normalnya makhluk bergerak, tidak diam, aktif. Memang berapa jam sih anak mampu konsentrasi dengan sebuah kegiatan? Apakah anak tahan mewarnai selama 2 jam pengajian? Padalah anak-anak di bawah 7 tahun rentang pemusatan perhatiannya tidak lama. Umumnya anak-anak 3 tahun, dapat mempertahankan focus dengan dengan 1 kegiatan hanya 3 menit, 4 tahun selama 4 menit, 5 tahun selama 5 menit dan seterusnya.

Ada sebagian orangtua yang proaktif tetap membawa anak ke tempat pengajian dan mengantisipasinya dengan menyibukkan anak-anak dengan mewarnai. Apakah anak akan tahan beraktivitas mewarnai selama 2-3 jam?

Yang lebih parah, ada orangtua yang tengah mencari “ridho Allah” ini, anaknya malah justru dihadiah “gadget, tab atau ipad” agar tenang. Kita tahu dampak gadget dan alat-alat itu untuk tumbuh kembang lebih banyak keburukannya dibandingkan kebaikannya. Saya tidak akan bahas di sini karena sering di bahas di kajian-kajian saya secara panjang lebar.

Atau orangtua ada pula yang saat pengajian ke masjid kemudian membiarkan anak bermain di luar ruangan masjid bersama teman-temannya. Ini juga diperbolehkan, tetapi tetap harus ada pengawasan demi “safety”. Nah jika orangtua yang lagi ngaji ini juga harus mengawasi, akhirnya informasi yang di dapat pengajian pun bisa sepotong-sepotong.

Kan lebih baik dapat meski sedikit daripada tidak sama sekali? Ya belum tentu baik. Tak jarang informasi yang berbahaya justru adalah informasi yang diterima sepotong-sepotong.

Saya menyarankan, sebaik-baiknya, jika ada melakukan kegiatan untuk kepentingan Anda, seperti pengajian dan lain-lain dan bukan kepentingan anak, tinggalkan anak Anda dengan pasangan atau orang dewasa lain yang mengawasinya. Jika Anda seorang ibu, maka menjadi positif jika momen ini dimanfaatkan untuk mendekatkan anak pada si Ayah tanpa pendampingan Ibu. Biarkan Ayah berinteraksi dengan anak, bermain di taman, melakukan aktivitas bersama di rumah dll.

Bagaimana jika tidak ada orang dewasa lain yang dapat dititipkan anak? Lakukan yang KELIMA. Saya mengusulkan sudah saatnya untuk kelompok-kelompok pengajian, kelompok-kelompok ta’lim, halaqoh dan lain-lain untuk memperhatikan ini dengan lebih seksama. Bagaimanapun anak adalah “kader da’wah”. Jadi jika Anda aktivis da’wah, ketika Anda mengajak anak ke kegiatan orang dewasa sebaik-baiknya dibuat piket “pendampingan” anak diantara anggota kelompok pengajian, seperti langkah NOMOR 3 yang saya usulkan untuk para pengurus masjid.

Semoga dengan ikhtiar dengan berbagai pihak, dari pengurus masjid dan dari orangtua dapat mewujudkan tidak hanya masjid ramah anak tapi juga sekaligus ramah ibadah. Wallahu’alam bishawwab. @abahihsan. –the end-

Leave a comment